Kata
Pengantar
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas kehendak-Nya
karya ilmiah Antropologi yang berjudul “Unsur-unsur Kebudayaan” dapat
terselesaikan tepat waktu. Meskipun banyak rintangan dan hambatan kami alami dalam proses
pengerjaannya, tapi kami dapat menyelesaikannya dengan baik.
Tak
lupa kami mengucapkan terima kasih kepada orang tua, dosen, dan teman-teman
kelas 1PA02 yang ikut serta mendukung kami dalam pembuatan karya ilmiah ini.
Tentunya
ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada teman-teman dari hasil karya ilmiah
ini. Karena itu kami berharap semoga karya ilmiah ini dapat menjadi sesuatu
yang berguna bagi kita bersama.
Semoga karya
ilmiah yang penulis buat ini dapat menambah wawasan bagi kita semua.
Depok, 16
Oktober 2012
Penulis
BAB
I
I.A Latar Belakang Masalah
Indonesia
merupakan negara yang kaya akan kebudayaan, dari kebudayaan yang tradisional,
modern, dari yang kurang populer hingga yang populer.
Tentunya kebudayaan mempunyai unsur-unsur
yang
I.B
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
kami merumuskan penelitian sebagai berikut:
a) Apa
itu kebudayaan?
b) Apa
saja macam-macam unsur kebudayaan?
I.C
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
kami merumuskan tujuan sebagai berikut:
a) Untuk
mengetahui apa itu kebudayaan
b) Untuk
mengetahui apa saja macam-macam unsur kebudyaan
I.D
Pembatasan Penelitian
I.E
Manfaat Penelitian
Manfaat dari
karya ilmiah ini adalah sangat banyak, salah satunya adalah kita dapat mengetahui
lebih dalam tentang unsur-unsur kebudayaan yang mungkin tidak semua orang tahu.
I.F
Pembatasan Istilah
Kebudayaan:
Unsur-unsur
Kebudayaan:
\
BAB
II
II.
A Kebudayaan
Dalam
pemakaian sebagian besar masyarakat sehari hari, arti “kebudayaan” sering kali
terbatas pada sesuatu yang indah-indah, seperti misalnya candi, tarian, seni
rupa, seni suara, sastra, dan filsafat. Ralph Linton, seorang ahli Antropologi,
dalam bukunya The Cultural Background of Personality, mempunyain definisi yang
berbeda antara definisi yang umum tersebut dengan definisi seorang ahli
Antropologi sebagaimana disajikan pada uraian berikut (Ihromi, 1994;18).
“kebudayaan adalah seluruh cara
kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak mengenai sebagian dri cara
hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih
diinginkan. Dalam arti cara hidup itu masyarakat kalau kebudayaan diterapkan
pada cara hidup kita sendiri, maka tidak ada sangkut pautnya dengan main piano
atau membaca karya sastra terkenal. Untuk seorang ahli ilmu sosial, kegiatan
seperti main piano itu, merupakan elemen-elemen belaka dalam keseluruhan
kebudayaan kita. Keseluruhan ini mencakup kegiatan-kegiatan duniawi seperti
mencuci piring atau menyetir mobil dan untuk tujuan mempelajari kebudayaan, hal
ini sama derajatnya dengan “hal-hal yanng lebih halus dalam kehidupan”. Karena
itu, bagi seorang ilmu sosial tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak
berkebudayaan. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya
kebudayaan itu dan setiap manusia adalah makhluk hidup berbudaya. Dalam arti
mengambil bagian dalam suatu kebudayaan.’
Penjelasan Linton di atas menunjukan
bahwa kebudayaan memiliki berbagai aspek, yang meliputi cara-cara berlaku,
kepercayaan, sikap-sikap, dan hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu
masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
Kebudayaan menurut ilmu antropologi
pada hakikatnya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar (Koentjaranigrat, 1996;72). Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena hanya sebagian
kecil dari tindakan manusia yang tidak dibiasakan dengan belajar seperti
naluri, refleks, atau tindakan yang dilakukan akibat suatu proses fisiologis.
II.B Unsur-unsur Kebudayaan
Terdapat tujuh unsur kebudayaan yang
dapat kita sebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan yang ada di dunia
ini. Ketujuh unsur tersebut adalah: Bahasa. Sistem Pengetahuan, Organisasi
Sosial. Sistem Peralatan dan Teknologi, Sistem Mata Pencaharian Hidup, Sistem
Religi, serta kesenian. Selanjutnya, Koentjaranigrat menjabarkan ketujuh unsur
kebudayaan tersebut dalam ke dalam beberapa bagian lagi, yaitu:
1. Bahasa,
terdiri dari bahasa lisan dan tertulis;
2. Sistem
Pengetahuan, terdiri dari : (1) Pengetahuan tentang sekitar alam, (2)
pengetahuan tentang alam flora, (3) pengetahuan tentang zat-zat dan bahan
mentah, (4) pengetahuan tentang tubuh manusia, (5) pengetahuan tentang kelakuan
sesama manusia, dan (6) pengetahuan tentang ruang, waktu, dan bilangan;
3. Organisasi
Sosial, terdiri dari : (1) sistem kekerabatan, (2) sistem kesatuan hidup
setempat, (3) asosiasi dan perkumpulan-perkumpulan, (4) sistem kenegaraan.
4. Sistem
Peralatan dan Teknologi, terdiri dari : (1) alat-alat produktif, (2) alat-alat
distribusi dan transport, (3) wadah-wadah dan tempat-tempat untuk menaruh, (4)
makanan dan minuman, (5) pakaian dan perhiasan, (6) tempat berlindung dan perumahan,
dan (7) Senjata
5. Sistem
Mata Pencaharian Hidup, terdiri dari: berburu dan meramu, perikanan, bercocok
tanam di ladang, bercocok tanam menetap, peternakan, dan perdagangan.
6. Sistem
Religi terdiri dari : sistem kepercayaan, kesusasteraan suci, sistem upacara
keagamaan, kelompok keagamaan, ilmu gaib, serta sistem nilai dan pandangan
hidup.
7. Kesenian,
terdiri dari seni patung, seni relief, seni lukis dan gambar, seni rias, seni
vokal, seni instrumen, senin kesusasteraan, dan seni drama.
Dalam bukunya yang berudul “beberapa
pokok Antropologi Sosial” (1992). Koentjaraningrat hanya memilih beberapa pokok
khusus saja, yaitu: berburu dan meramu, perikanan, bercocok tanam di
ladang,bercocok tanam menetap,sistem kekerabatan,sistem kesatuan hidup
setempat,sistem religi dan ilmu gaib. Dalam bab ini unsur-unsur kebudayaan akan
lebih dibatasi lagi menjadi bahasa dan komunikasi,kesatuan hidup setempat dan
sistem religi.
Bahasa
dan komunikasi
Sebelum menginjak kepada pembahasan
lebih jauh, maka dua ilustrasi di bawah ini barangkali dpat kita jadikan
sebagai suatu pemahaman awal mengenai bahasa dan komunikasi.
Ilustrasi
1
Pada tahun 1970, seorang ibu yang berusia 50
tahun melarikan diri dari rumahnya di California,setelah bertengkar dengan
suaminya yang berumur 70 tahun.Ia membawa anaknya, gadis berusia 13 tahun yang
bernama Genie ( samaran). Mereka datang meminta bantuan pada petugas
kesejahteraan sosial, akan tetapi para petugas melihat ada hal yang aneh pada
anak gadis yang dibawa ibunya tersebut.Perilakunya tidak menunjukkan sebagai
anak yang normal.Tubuhnya bungkuk,kurus,ekring,kotor, dan menyedihkan.
Sepanjang waktu ia tidak henti-hentinya meludah dan tanpa mengeluarkan sepatah
kata pun. Para petugas mengira gadis ini telah dianiaya ibunya. Kedua
orangtuanya akhirnya diseret ke pengadilan. Pada hari sidang ayah Genie itu
membunuh dirinya dengan pistol, dan meninggalkan catatan. “ Dunia tidak akan
pernah mengerti “.
Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa
Genie telah melewati masa kecilnya di neraka yang telah dibuat ayahnya sendiri.
Sejak kecil ayahnya telah mengikatnya dalam sebuah tempat duduk yang ketat. Sepanjang hari ia tidak
menggerakkan tangan dan kakinya. Pada malam hari ia ditempatkan ke dalam
semacam kurungan besi. Seringkali ia merasa kelaparan,tetapi kalau ia menangis
ayahnya memukulinya.
Si ayah tidak bicara dengannya,
sedangkan si ibu untuk mengurusnya. Kakak laki-lakinyalah yang akhirnya
memberinya makan dan minum. Itupun sesuai dengan perintah sang ayah, harus
dilakukan diam-diam, tanpa mengeluarkan suara. Genie tidak pernah mendnegar
orang bercakap-cakap. Kakak dan ibunya sering mengobrol dengan berbisik, karena
takut pada ayahnya ( dalam Rakhmat, 1994; 1-2 ).
Ilustrasi
di atas menunjukkan betapa pentingnya kata-kata dan makna yang diwakili oleh
kata-kata tersebut.
Bahasa adalah suatu sistem komunikasi yang
menggunakan suara dihubungkan satu sama lain menurut seperangkat aturan,
sehingga mempunyai arti (Haviland, 1995; 361). Haviland dalam mendefinisikan
bahasa dalam bukunya yang berjudul “Antropology” tersebut, ternyata mengandung
adanya kontradiksi. Di satu pihak ia menyebutkan bahasa adalah sesuatu yang
menggunakan suara, sementara dalam bukunya yang lain juga ia mendeskripsikan
“bahasa tubuh’ yang jelas-jelas tidak menggunakan suara.
Menurut Rakhmat (1994; 268-269) terdapat
dua cara untuk mendefinisikan bahasa, yaitu secara fungsional dan secara
formal. Secara fungsional berarti melihat bahasa dari segi fungsinya, sehingga
bahasa diartikan dsebagai “alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan”.
Kita tekankan pada yang dimiliki bersama, karena bahasa hanya dapat dipahami
bila ada kesepakatan bersama di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk
menggunakannya. Definisi formal mengatakan bahwa bahasa didefinisikan sebagai
semua kalimat yang terbayangkan. Yang dapat dibuat menurut peraturan tata
bahsa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan
dirangkaikan supaya dapat memberikan arti.
Menurut Koentjaraningrat (1998, 339-341)
dalam membahas tentang bahasa atau sistem lambangan manusia secara lisan maupun
tertulis untk berkomunikasi antara individu satu dengan lainnya, maka peran
suatu etnografi adalah memberi deskripsi tentang cir-ciri terpenting dari
bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan, yang disertai pula
variasi-variasi dari bahasa itu.
2.
Bahasa dalam kerangka kebudayaan
Menurut Haviland (1995; 376) seluruh
permasalahan tentang hubungan antara bahasa dan kebudayaan termasuk dalam
etnolinguistik, yaitu suatu bidang yang berkembang dari etnologi maupun
linguistik deskriptif serta merupakan suatu bidang pembahasan tersendiri.
Etnolinguistik meliputi segala aspek dari struktur dan penggunaan bahasa yang
ada hubungannya dengan masyarakat, kebudayaan, dan perilaku manusia.
3.
Kinesik dan proksemik
Pada dasarnya, dalam berkomunikasi manusia
tidak hanya membutuhkan komunikasi verbal semata, akan tetapi juga dibutuhkan
ekspresi wajah, gerak tangan, gerak tubuh, cara berbicara, maupun nada suara
yang kesemuanya itu bisa disebut bahasa tubuh atau komunikasi non verbal.
Banyak informasi dapat diperoleh dari komunikasi nonverbal (Prawitasari, 1993).
Kinesik dan proksemik adalah merupakan bagian dari komunikasi non verbal.
Duncan (dalam Rakhmat, 1994; 289) menyebutkan enam jenis komunikasi non verbal,
yait7u:
(1) Kinesik
atau gerakan tubuh
(2) Paralinguistik
atau suara
(3) Proksemik
atau penggunaan ruang personal dan sosial
(4) Olfaksi
atau penciuman
(5) Sensitivitas
kulit, dan
(6) Fakto
arifkultural, seperti pakaian dan kosmetik.
Kinesik.
Menurut Haviland (1995; 368-369), kinesik dapat digambarkan sebagai suatu
sistem komunikasi dengan menggunakan gerakan, yang berupa sikap tubuh, ekspresi
muka, dan gerakan-gerakan tubuh lain yang mengandung pesan, seperti misalnya di
Amerika Utara orang menggaruk-garuk kepala, menggigit bibir sendiri, atau
mengkerutkan dahi adalah cara-cara untuk menunjukkan keragu-raguan. Selanjutnya
Rakhmat ( 1994; 289-290) mengatakan bahwa di dalam menyampaikan pesan kinetik.
Seseorang melalui gerakan tubuhnya dapat terdiri dari tiga komponen, yaitu :
fasial, gestural dan postural.
Pesan
fasial adalah kinetik yang menggunakan raut muka untuk menyampaikan makna
tertentu, Berbagai penelitian menggunakan bahwa wajah dapat menyampaikan paling
sedikit sepuluh kelompok makna : kebahagiann, rasa terkejut ketakutan,
kemarahan, kesedihan, kemuakkan, pengecaman, minat, ketakjuban dan tekad.
Pesan gestural menunjukkan
gerakan sebagai anggota badan seperti mata, dan tangan untuk mengkomunikasikan
berbagai makna. Menurut Galloway ( dalam Rakhmat 1994; 290) pesan gestural
dapat kita pergunakan untuk mengungkapkan beberapa hal: mendorong/ membatasi,
menyesuaikan/ mempertentangkan, responsif/ tidak responsif. Perasaan
positif/negatif, memperhatikan/tidak
memperhatikan/ tidak memperhatikan, melancarkan/ tidak reseptif,
menyetujui? Menolak. Selanjutnya diperjelas bahwa pesan gestural yang
mempertentangkan terjadi bila pesan gestural memberikan arti lain dari pesan
atau pesan lainnya. Pesan gestural tidak responsif menunjukka gestur yang tidak
ada kaitannya degan pesan yang diresponnya. Pesa gestural negatif mengungkapkan
sikap dingin, merendahkan, atau menolak. Pesan gestural tak responsif
mengabaikan permintaan untuk bertindak.
Pesan postural berkenaan degan
keseluruhan anggota badan, Mehrabian ( dalam Rakhmat, 1994; 290) menyebutkan
tiga makna yang dapat disampaikan postur: immediacy, power dan responsiveness.
Immediacy adalah ungkapan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap individu yang
lain. Postur yang condong ke arah yang diajak bicara menunjukkan kesukaan dan
penilaian positif. Power mengungkapkan status sosial tetentu pada diri
komunikator. Anda dapat membayangkan dengan postur yang tinggi hati di depan
anda dan postur yang merendah.
Oleh karena itu, postur seseorang
dalam berkomunikasi seingkali dipengaruhi oleh status sosial tertentu. Individu
megkomunikasikan responsiveness bila ia bereaksi secara emosional pada
lingkungan, secara emosional pada lingkungan,s ecara positif dan negatif. Bila
postur anda tidak berubah, anda mengungkapkan sikap yang tidak responsif.
Proksemik adalah pesan yang disampaikan
melalui pengaturan jarak dan ruang. Umumnya dengan mengatur jarak kita dapat
mengungkapkan keakraban degan orang lain. Edward T. Hall, seorang antropog,
meyebutkan bahwa dalam interaksi sosial terdapat empat zona spesial yang
meliputi : Kajian ini kemudian dikenal degan istilah proksemik ( kedekatan)
atau cara seseorang menggunakan ruang dalam berkomunikasi ( dalam Altman,
1975). Pertama, jarak intim adalah jarak yang dekat/ akrab atau keakraban
dengan jarak 0- 18 inci . Menurut Hall pada jarak yang akrab ini kemunculan
orang lain adalah jelas sekali dan mungkin sutu saat akan menjadi sangat besar
karena sangat meningkatnya masukan pancaidera. Penglihatan, panas tubuh orang
lain, suara, bau, dan tarikan napas, semuanya menyatu sebagai tanda yang sangat
jelas tentang keterlibatan orang lain. Pada jarak 0-6 inci (fase dekat pada
jarak intim), kontak fisik merupakan suatu hal yang teramat penting. Hal
menggambarkan, bahwa pada jarak ini akan mudah terjadi pada saat orang sedang
bercinta, olahraga gulat, saling menyenangkan, dan melindungi. Pada jarak ini
kemungkinan menerima dan menyampaikan isyarat-isyarat komunikasi adalah sangat
luar biasa. Seseorang dapat melihat dengan jelas keseluruhan orang yang sedang
dihadapinya seperti tekstur kulitnya, kerut, dan cacat wajahnya, warna matanya,
tingkat keputihan bola matanya, kerutan pada keningnya, dan mulutnya. Pada
jarak sedekat itu kita lebih dari sekedar melihat. Seseorang dapat
menyentuh hampir semua bagian tubuh orang
tersebut atau dengan mudah memeluknya. Seseorang dapat membaui napas dan
parfum, merasakan perbedaan panas tubuh dan deru napasnya. Hal meyimpulkan
bahwa pada “daerah keakraban” tersebut kaya akan isyarat-isyarat yang potensial
untuk berkomunikasi, yang juga menyajikan banyak hal tentang seseorang. Mungkin
juga kondisi seperti ini, yang dikatakan hall sebagai jarak yang biasanya
dioeruntukkan kepada “intimate lovers” – pasangan kekasih yang sudah sangat
intin dan suami istri umumnya tidak disetujui dilakukan di tempat yang umum.
Jika
daerah atau zona ini dapat menyenangkan dalam suatu situasi, yaitu ditempat
yang umum.
Jika
daerah/zona ini dapat menyenangkan dalam suatu situasi,yaitu ketika seseorang
berinteraksi dengan orang lain yang dicintainya,mungin akan menjadi tidak
menyenangkan dalam situasi lain.misalnya,ketika orang dengan tidak sengaja
terpaksa untuk masuk ke dalam elevator yang penuh sesak,mereka seringkali
menjadi tidak bergerak/kaku,melihat dengan gugup kepada nomor-nomor lantai.hal
ini mungkin juga sebagai tanda bahwa mereka menyadari telah saling melanggar
“jarak kedekatan” (intimate distance). Tetapi berusaha untuk berusaha yang
terbaik untuk menghindari interaksi yang tidak pantas.
Pada
bagian yang dekat degan zona sosial(fase dekat)/pada jarak 4-7 kaki,kontak
visual tidak begitu terselaraskan dengan baik dibandingkan degan daerah-daerah
lainnya. Isyarat-isyarat sentuhan lainnya menjadi relatif tidak penting.
Secara antropologis perkawinan dapat
berfungsi antara lain sebagai pengaturan kehidupan seksual serta kehidupan
kebudayaan dan masyarakat luas. Pekawinan juga memberi ketenuan hak dan
kewajiban serta perlindungan kepada hasil dari buah perkawinan terseut (
anak-anak), juga memenuhi kebutuhan akan teman hidup.
Pembatasan jodoh dalam
perkawinan menurut koentjaraningrat ( 1992; 94-95) di dalam masyarakat di dunia
terdapat baik larangan-larangan maupun bentuk-bentuk yang ideal ( preferensi)
dalam pembatasan jodoh untuk perkawinan. Beikut ini akan di bahas
larangan-larangan maupun preferensi dalam perkawinan.
Pada masyarakat orang jawa dari
lapisanyang berpendidikan dan tinggal di kota misalnya, hampir tidak ada
pembatasan asalkan saja mereka ingat bahwa mereka tidak boleh memiliki jodoh
pada saudara sekandung sendiri, dalam arti saudara seupu dari pihak ayah,
saudara perempuan dari ayah atau ibu, atau wanita yang lebih tua
umurnya.Sementara pada orang Batak misalnya, orang dilarang mencari jodoh
diantara semua orang yang mempunyai nama marga yang sama dengannya. Kalau
misalnya seseorang bernama Hutabarat, maka ia tidak boleh menikah degan gadis
atau pemuda bermarga Hutabarat.
Dalam setiap masyarakat orang
memang seharusnya bisa menikah degan orang lain
di luar suatu lingkungan tertentu atau exogami. Pembatasan exogami tentu
berebda-beda sesuai dengan konteks tertentu. Kalau seseorang dilarang menikah
dengan saudara kandungnya, maka kita
akan menyebutnya sebagai exogami keluarga. Kalau dilarang dalam satu marga,
maka diseut exogami marga.
Selain exogami kita juga mengenal
istilah endogami, yang pembatasnya juga berbeda-beda sesuai degan konteksnya.
Salah satu istilah penting dalam endogami adalah istilah sumbang atau incest.
Feomena sumbang tejadi karena seseorang telah melanggar adat exogami.
Pembatasan sumbang juga berbeda-beda sesuai degan konteksnya.
Kebalikan dengan hal-hal yang
diseut diatas, yang berhubungan dengn
pembatasan-pembatasan, dalam masyarakat di dunia juga mengenal istilah marriage
preference atau perkawinan-perkawinan yang menjadi preferensi umum, artinya
suatu bentuk perkawinan ideal yang diinginkan oleh sebagian esar warga
masyarakat. Dalam suatu kebudayaan tertentu terdapat preferensi untuk menikah
secara cross cousin, yaitu degan saudara perempuan ayah atau anak saudara
laki-laki ibu. Pada orang Batak Toba misalnya, perkawinan yang dianggap ideal
dan yang dianggap meyebabkan kebahagiaan yang paling besar adalah perkawinan
antara seseorang dengan seorang anak perempuan ayahnya bukan dilarang, tetapi
dianggap kurang baik, dan sejauh mungkin dihindari.
2. Rumah Tangga dan
Keluarga inti
Menurut Koentjaraningrat ( 1992; 108)
rumah tangga ( household) terjadi akibat adanya perkawinan. Kesatuan ini
mengurus ekonomi rumah tangga sebagai suatu kesatuan. Satu rumah tangga seing
terdiri dari satu keluarga inti atau lebih. Sedangkan, keluarga inti ( nuclear
family) tejadi juga sebagai akibat dari perkawinan, dengan anggota terdiri dari
seorang suami, seorang istri, dan anak-anak mereka yang belum kawin. Anak tiri
dan anak angkat yang secara resmi mempunyai hak wewenang yang kurang lebih sama
dengan anak kandungannya,dapat pula dianggap sebagai anggota suatu keluarga
inti. Bentuk keluarga inti seperti ini adalah bentuk keluarga inti yang
sederhana dan biasanya disebut sebagai batih yang berdasarkan monogami,atau
terdapat seorang suami dan istri dari anak.akan tetapi ada pula keluarga batih
yang lebih kompleks,yaitu apabila terdapat lebih dari seorang suami/istri.
Keluarga inti seperti ini disebut sebagai keluarga inti yang berdasarkan
poligami.
3.kelompok-kelompok
kekerabatan
Menurut
koentjaraningrat(1992; 113) keluarga-keluarga inti seperti terurai di atas itu
merupakan suatu kesatuan manusia yang di dalam ilmu antropologi dan sosiologi
disebut kingroup, atau kelompok kekerabatan. Selain keluarga inti masih
terdapat beberapa bentuk kelompok kekerabatan.
Kindread
adalah kesatuan kaum kerabat yang melingkari seseorang yang memulai suatu
kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut biasanya berupa pertemuan-pertemuan,
upacara-upacara atau pesta-pesta yang umumnya dimulai dari salah seorang
anggota. Lingkup kegiatannya biasanya pada sekitar life-space, seperti pada
hari ulang tahun,kematian dan pemakaman.
Keluarga
luas selalu terdiri lebih dari satu keluarga inti,tetapi yang seluruhnya merupakan
suatu kesatuan sosial yang amat erat, dan yang biasanya hidup di tempat tinggal
bersama pada suatu tempat tinggal bersama pada satu pekarangan.
Keluarga
ambilineal kecil,terjadi bila sesuatu keluarga luas yang utrolokal mendapat
suatu kepribadian yang disadari oleh para anggotanya,tidak selamanya waktu
mereka hidup saja, tetapi yang dianggap ada sejak dua-tiga angkatan dalam waktu
yang lama.
Keluarga
ambilineal besar. Keluarga ambilineal sering dapat juga terdiri dari lebih tiga
atau empat angkatan,tetapi dr banyak angkatan yang diturunkan oleh seorang
nenek moyang yang tidak saling mengenal dan tahu-menahu lagi. Jumlah warga
kelompok tidak hanya 25 sampai 30 orang,melainkan sampai beratus-ratus sehingga
tidak saling mengenal lagi.
Fratri.
Fratri atau dalam bahasa asingnya adalah phratry merupakan kelompok-kelompok
kekerabatan yang patrilineal dan yang matrilineal,yang sifatnya lokal dan yang
merupakan gabungan dari kelompok-kelompok klen setempat. Kelompok yang dapat
bergabung dalam fratri adalah klen kecil atau bagian lokal dari klen besar.
Paroh
masyarakat . paroh masyarakat atau dalam bahasa asingnya moity adalah kelompok
kekerabatan gabungan dari keln seperti fratri,tetapi yang selalu merupakan
separoh dari suatu masyarakat.hal ini tergantung dari struktur
masyarakatnya,sehingga suatu moiety dapat berupa gabungan dari klen-klen kecil
atau gabungan-gabungan dari bagian-bagian lokal dari klen besar.
C.
KESATUAN HIDUP SETEMPAT
Menurut koentjaraningrat (1992; 161)
kesatuan hidup setempat atau community atau
kemudian disebut komunitas adalah kesatuan sosial yang terjadi bukan karena
adanya ikatan kekerabatan sebagaimana kelompok kekerabatan, akan tetapi karena
ikatan tempat kehidupan. Orang-orang yang tinggal bersama disuatu wilayah
tertentu belum dikatakan community kalau
mereka tidak merasakan terikat oleh perasaan bangga dan cinta kepada
wilayahnya, sehingga mereka segan untuk tinggal di wilayah yang lain.
Sebagai suatu kesatuan manusia,
suatu komunitas tentu mempunyai juga perasaan kesatuan, serupa dengan hampir
semua kesatuan manusia yang lain, tetapi perasaan kesatuan dalam komunitas itu
biasanya amat kuat, sehinggarasa kesatuan kalau dikupas biasanya mengandung
unsur-unsur rasa kepribadian kelompok, artinya perasaan bahwa kelompok sendiri
itu mempunyai ciri-ciri (biasanya ciri-ciri kebudayaan atau cara-cara hidup)
yang berbeda jelas dengan kelompok lainnya, serta adanya perasaan negatif yaitu
dengan merendahkan atau paling tidak menganggap aneh ciri-ciri dalam kehidupan
komunitas lainnya.
Koentjaraningrat (1992; 162) membagi
komunitas menjadi dua bagian yakni komunitas kecil dan komunitas besar.
Komunitas besar, menurut
koentjaraningrat (1993; 162) sifat dari komunitas, baik komunitas kecil maupun
besar adalah adanya wilayah, cinta wilayah, dan kepribadian kelompok, dimana
ketiganya merupakan dasar dan pangkal dari perasaan seperti nasionalisme,
patriotisme, dan sebagainya. bentuk-bentuk komunitas besar antara lain adalah
kota, propinsi, negara bagian, atau bahkan negara. Suatu negara dapat merupakan
suatu komunitas jikalau ada rasa cinta tanah air dan rasa kepribadian bangsa
yang besar.
Komunitas kecil, komunitas kecil
ternyata lebih mendapat banyak perhatian di antara para ahli antropologi maupun
sosiologi. Berikut ini akan disajikan sifat-sifat, bentuk-bentuk, dan
solidaritas pada komunitas kecil.
Komunitas
kecil memiliki sifat-sifat :
1. Komunitas
kecil adalah kelompok-kelompok dimana warga-warganya semuanya masih bisa saling
kenal-mengenal dan saling bergaul dengan frekuensi kurang atau lebih besar.
2. Karena
sifat kecilnya tersebut maka antara bagian-bagian dan kelompok-kelompok khusus
didalamnya tidak terdapat keragaman warna yang besar.
3. Komunitas
kecil juga merupakan kelompok dimana manusia dapat menghayati sebagian besar
dari lapangan-lapangan kehidupan secara warna yang besar.
4. Komunitas
kecil tersebut dapat membentuk band, rukun tetangga, desa, dan sebagainya.
Berikut ini akan disajikan band an village.
Band
atau kelompok berburu adalah komunitas kecil yang hidup berpindah-pindah dari
berburu dan meramu dalam batas suatu wilayah tertentu. Kelompok berburu biasanya merupakan kelompok kecil
yang berpindah-pindah dan pada umumnya tidak melebihi 80 sampai 100 anggota.
Village
atau desa merupakan suatu kelompok hidup kecil yang menetap dalam suatu wilayah
yang tetap. Suku bangsa yang hidup di desa biasanya hidup bercocok tanam atau
dari perikanan. Dalam masyarakat yang berbentuk komunitas kecil di seluruh
dunia seringkali tampak adanya suatu rasa saling tolong-menolong yang besar,
sehingga seluruh kehidupan masyarakat berdasarkan rasa yang terkandung dalam
jiwa para anggotanya. Rasa tolong menolong tersebut dalam bahasa Indonesia
dipakai istilah gotong royong.
Koentjaraningrat ( 1992;
172-173) membagi aktivitas gotong royong dalam empat bagian:
1. Tolong
menolong dalam aktivitas pertanian
2. Tolong
menolong dalam aktivitas sekitar rumah tangga
3. Tolong
menolong dalam persiapan pesta dan upacara
4. Tolong
menolong dalam peristiwa kecelakaan, bencana dan kematian.
D. Sistem religi
Dalam kehidupannya, manusia
seringkali mengalami peristiwa- peristiwa diluar kemampuannya yang disebabkan
oleh kekuatan eksternal, seperti bencana banjir, gempa bumi, dan gunung
meletus. Oleh karena itu manusia mulai berpaling kepada sesuatu yang
dianggapnya memiliki kekuatan tersebut
untuk kemudian memuja dan meyembahnya. Sesuatu yang dipuja dan disembah
itu dapat berupa arwah nenek moyang,
patung-patung, atau objek-objek lainnya. Fenomena ini merupakan awal dari
lahirnya agama-agama.
Agama atau religi menurut
Havilland dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku, yang
diusahakan oleh manusia untuk menangani masalah-masalah penting yang tidak
dapat dipecahkan melalui teknologi dan teknisi organisasi yang diketahuinya.
Untuk mengatasi ketebatasan itu orang bepaling kepada supranatural.
Semetara itu, Anthony F.C
Wallace secara antropologis mendefinisikan agama sebagai seperangkat upacara,
yang diberi rasionalisasi mitos dan yang meggerakkan kekuatan supranatural
degan maksud untuk mencapai atau menghindari segala perubahan keadaan pada
manusia atau alam. Meurut Havilland pengertian ini memiliki suatu pengertian
bahwa, kalau tidak dapat megatasi
masalah serius yang meimbulkan kegelisahan mereka, maka manusia berusaha
mengatasinya degan kekuatan supranatural. Maka dari itu dilakukan upacara
keagamaan, yang oleh Wallace dipandang sebagai gejala agama yang utama (
religion in action). Fungsi utama dari upacara keagamaan itu adalah untuk
megurangi kegelisahan . Hal inilah yang emrupakan nilai agama untuk mengatasi
hidup.
Unsur unsur religi . Unsur-
unsur religi Meurut Koentjaraningrat terdiri dari: Emosi, keagamaan, sistem
keagamaan, upacara keagamaan, peralatan upacara dan kelompok keagamaan. Kelima
unsur terseut akan dibahas satu persatu di bawah ini.
Emosi keagamaan adalah suatu
getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah emnghinggapi manusia dalam jangka
waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin hanya beberapa detik saja dan
kemudian emnghilang lagi ( Koetjaraningrat 1992; 239). Proses-proses fisiologi
dan psikologi yang tejadi apalabila seseorang megalami emosi keagamaan tenyata
belum pernah dianalisis dan di deskripsi oleh para ahli. Seorang ahli, Rudolf
Otto malahan lebih menghindari suatu analisis yang lebih mendalam bahwa emosi
yang berupa “ sikap kagum terpesona terhadap hal yang gaib dan keramat” pada
hakikatnya tidak dapat di jelaskan degan akal manusia karena berada diluar
jangkauan kemampuannya. Ahli lain, soderblom hanya menyebutkan bahwa emosi
keagamaan adalah sikap “ takut becampur percaya” kepada hal yang gaib serta
keramat.
Sistem keyakinan dan keagamaan
menurut Koentjaraningrat dapat berwujud pada pikiran manusia, yang meyangkut
keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat Tuhan, tentang wujud dari alam
gaib, tentang tejadinya alam dan dunia, tentang zaman akhirat, tentang wujud
dan ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam, dewa-dewa, roh jahat,
hantu, dan makhluk halus lainnya. Kecuali dari itu sistem keyakinan juga
menyangkut sistem nilai dari sistem keagamaan, ajaran kesusilaan, dan ajaran
religi lainnya yang mengatur tingkah laku manusia.
Upacara keagamaan menurut
Koentjaraningrat dapat berwujud aktivitas atau tindakan manusia dalam
melaksanakan kebaktian terhadap tuhan, dewa, roh nenek moyang, dan makhluk
lainnya dalam upaya berkomunikasi degan Tuhan atau penghuni alam gaib
lainnya.Hal ini biasanya dilakukan berulang-ulang, baik setiap hari, setiap
musim, atau hanya kadang – kadang saja. Bedasarkan isi acaranya, hal ini
biasanya terdiri dari suatu kombinais yang merangkai satu atau beberapa
tindakan, seperti: berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari,
bernyanyi, berprosesi, seni drama suci, berpuasa, bertapa, bersemi dan
sebagainya.
Selanjutnya dikatan oleh
Koentjaraningrat bahwa di dalam hal ini biasanya digunakan berbagai sarana atau
peralatan, seperti : tempat atau gedung pemujaan ( masjid, langgar, gereja,
pagoda, stupa ), patung dewa, patung orang suci, alat bunyi- bunyian suci ( bedug, gong, seuling, gamelan, lonceng, dan
lain-lain).
Kelompok Keagamaan menurut
Koentjaraningrat ( 1990; 82) merupakan suatu kesatuan sosial yang berwujud
sebagai:
1. Keluarga
inti atau kelompok kekerabatan yang lain
2. Kelompok
kekerabatan yang lebih esar, seperti keluarga luas, suku, marga dan lain-lain
3. Kesatuan
komunitas, seperti desa dan lain-lain
4. Organisasi
atau gerakan religi, seperti organisasi penyiaran agama, organisais gereja,
partai politik yang beridelogi agama, gerakn agama, orde-orde rahasia dan
lain-lainnya