Kamis, 10 Januari 2013

UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN



Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas kehendak-Nya karya ilmiah Antropologi yang berjudul “Unsur-unsur Kebudayaan” dapat terselesaikan tepat waktu. Meskipun banyak rintangan dan hambatan kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi kami dapat menyelesaikannya dengan baik.
            Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada orang tua, dosen, dan teman-teman kelas 1PA02 yang ikut serta mendukung kami dalam pembuatan karya ilmiah ini.
            Tentunya ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada teman-teman dari hasil karya ilmiah ini. Karena itu kami berharap semoga karya ilmiah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita bersama.
            Semoga karya ilmiah yang penulis buat ini dapat menambah wawasan bagi kita semua.


                                                                        Depok, 16 Oktober 2012

                                                                                       Penulis

BAB I

I.A     Latar Belakang Masalah
          Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan, dari kebudayaan yang tradisional, modern, dari yang kurang populer hingga yang populer.
            Tentunya kebudayaan mempunyai unsur-unsur yang

I.B Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas, kami merumuskan penelitian sebagai berikut:
a)      Apa itu kebudayaan?
b)      Apa saja macam-macam unsur kebudayaan?

I.C Tujuan Penelitian
            Berdasarkan rumusan masalah di atas, kami merumuskan tujuan sebagai berikut:
a)      Untuk mengetahui apa itu kebudayaan
b)      Untuk mengetahui apa saja macam-macam unsur kebudyaan

I.D Pembatasan Penelitian
I.E Manfaat Penelitian
          Manfaat dari karya ilmiah ini adalah sangat banyak, salah satunya adalah kita dapat mengetahui lebih dalam tentang unsur-unsur kebudayaan yang mungkin tidak semua orang tahu.
I.F Pembatasan Istilah
Kebudayaan:
Unsur-unsur Kebudayaan:

 \
BAB II

II. A Kebudayaan
Dalam pemakaian sebagian besar masyarakat sehari hari, arti “kebudayaan” sering kali terbatas pada sesuatu yang indah-indah, seperti misalnya candi, tarian, seni rupa, seni suara, sastra, dan filsafat. Ralph Linton, seorang ahli Antropologi, dalam bukunya The Cultural Background of Personality, mempunyain definisi yang berbeda antara definisi yang umum tersebut dengan definisi seorang ahli Antropologi sebagaimana disajikan pada uraian berikut (Ihromi, 1994;18).
            “kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak mengenai sebagian dri cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Dalam arti cara hidup itu masyarakat kalau kebudayaan diterapkan pada cara hidup kita sendiri, maka tidak ada sangkut pautnya dengan main piano atau membaca karya sastra terkenal. Untuk seorang ahli ilmu sosial, kegiatan seperti main piano itu, merupakan elemen-elemen belaka dalam keseluruhan kebudayaan kita. Keseluruhan ini mencakup kegiatan-kegiatan duniawi seperti mencuci piring atau menyetir mobil dan untuk tujuan mempelajari kebudayaan, hal ini sama derajatnya dengan “hal-hal yanng lebih halus dalam kehidupan”. Karena itu, bagi seorang ilmu sosial tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak berkebudayaan. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya kebudayaan itu dan setiap manusia adalah makhluk hidup berbudaya. Dalam arti mengambil bagian dalam suatu kebudayaan.’
            Penjelasan Linton di atas menunjukan bahwa kebudayaan memiliki berbagai aspek, yang meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan, sikap-sikap, dan hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
            Kebudayaan menurut ilmu antropologi pada hakikatnya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaranigrat, 1996;72). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena hanya sebagian kecil dari tindakan manusia yang tidak dibiasakan dengan belajar seperti naluri, refleks, atau tindakan yang dilakukan akibat suatu proses fisiologis.

            II.B Unsur-unsur Kebudayaan
            Terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dapat kita sebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan yang ada di dunia ini. Ketujuh unsur tersebut adalah: Bahasa. Sistem Pengetahuan, Organisasi Sosial. Sistem Peralatan dan Teknologi, Sistem Mata Pencaharian Hidup, Sistem Religi, serta kesenian. Selanjutnya, Koentjaranigrat menjabarkan ketujuh unsur kebudayaan tersebut dalam ke dalam beberapa bagian lagi, yaitu:
1.      Bahasa, terdiri dari bahasa lisan dan tertulis;
2.      Sistem Pengetahuan, terdiri dari : (1) Pengetahuan tentang sekitar alam, (2) pengetahuan tentang alam flora, (3) pengetahuan tentang zat-zat dan bahan mentah, (4) pengetahuan tentang tubuh manusia, (5) pengetahuan tentang kelakuan sesama manusia, dan (6) pengetahuan tentang ruang, waktu, dan bilangan;
3.      Organisasi Sosial, terdiri dari : (1) sistem kekerabatan, (2) sistem kesatuan hidup setempat, (3) asosiasi dan perkumpulan-perkumpulan, (4) sistem kenegaraan.
4.      Sistem Peralatan dan Teknologi, terdiri dari : (1) alat-alat produktif, (2) alat-alat distribusi dan transport, (3) wadah-wadah dan tempat-tempat untuk menaruh, (4) makanan dan minuman, (5) pakaian dan perhiasan, (6) tempat berlindung dan perumahan, dan (7) Senjata
5.      Sistem Mata Pencaharian Hidup, terdiri dari: berburu dan meramu, perikanan, bercocok tanam di ladang, bercocok tanam menetap, peternakan, dan perdagangan.
6.      Sistem Religi terdiri dari : sistem kepercayaan, kesusasteraan suci, sistem upacara keagamaan, kelompok keagamaan, ilmu gaib, serta sistem nilai dan pandangan hidup.
7.      Kesenian, terdiri dari seni patung, seni relief, seni lukis dan gambar, seni rias, seni vokal, seni instrumen, senin kesusasteraan, dan seni drama.
Dalam bukunya yang berudul “beberapa pokok Antropologi Sosial” (1992). Koentjaraningrat hanya memilih beberapa pokok khusus saja, yaitu: berburu dan meramu, perikanan, bercocok tanam di ladang,bercocok tanam menetap,sistem kekerabatan,sistem kesatuan hidup setempat,sistem religi dan ilmu gaib. Dalam bab ini unsur-unsur kebudayaan akan lebih dibatasi lagi menjadi bahasa dan komunikasi,kesatuan hidup setempat dan sistem religi.

Bahasa dan komunikasi
Sebelum menginjak kepada pembahasan lebih jauh, maka dua ilustrasi di bawah ini barangkali dpat kita jadikan sebagai suatu pemahaman awal mengenai bahasa dan komunikasi.
Ilustrasi 1
 Pada tahun 1970, seorang ibu yang berusia 50 tahun melarikan diri dari rumahnya di California,setelah bertengkar dengan suaminya yang berumur 70 tahun.Ia membawa anaknya, gadis berusia 13 tahun yang bernama Genie ( samaran). Mereka datang meminta bantuan pada petugas kesejahteraan sosial, akan tetapi para petugas melihat ada hal yang aneh pada anak gadis yang dibawa ibunya tersebut.Perilakunya tidak menunjukkan sebagai anak yang normal.Tubuhnya bungkuk,kurus,ekring,kotor, dan menyedihkan. Sepanjang waktu ia tidak henti-hentinya meludah dan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Para petugas mengira gadis ini telah dianiaya ibunya. Kedua orangtuanya akhirnya diseret ke pengadilan. Pada hari sidang ayah Genie itu membunuh dirinya dengan pistol, dan meninggalkan catatan. “ Dunia tidak akan pernah mengerti “.
Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa Genie telah melewati masa kecilnya di neraka yang telah dibuat ayahnya sendiri. Sejak kecil ayahnya telah mengikatnya dalam sebuah tempat duduk  yang ketat. Sepanjang hari ia tidak menggerakkan tangan dan kakinya. Pada malam hari ia ditempatkan ke dalam semacam kurungan besi. Seringkali ia merasa kelaparan,tetapi kalau ia menangis ayahnya memukulinya.
Si ayah tidak bicara dengannya, sedangkan si ibu untuk mengurusnya. Kakak laki-lakinyalah yang akhirnya memberinya makan dan minum. Itupun sesuai dengan perintah sang ayah, harus dilakukan diam-diam, tanpa mengeluarkan suara. Genie tidak pernah mendnegar orang bercakap-cakap. Kakak dan ibunya sering mengobrol dengan berbisik, karena takut pada ayahnya ( dalam Rakhmat, 1994; 1-2 ).
Ilustrasi di atas menunjukkan betapa pentingnya kata-kata dan makna yang diwakili oleh kata-kata tersebut.
      Bahasa adalah suatu sistem komunikasi yang menggunakan suara dihubungkan satu sama lain menurut seperangkat aturan, sehingga mempunyai arti (Haviland, 1995; 361). Haviland dalam mendefinisikan bahasa dalam bukunya yang berjudul “Antropology” tersebut, ternyata mengandung adanya kontradiksi. Di satu pihak ia menyebutkan bahasa adalah sesuatu yang menggunakan suara, sementara dalam bukunya yang lain juga ia mendeskripsikan “bahasa tubuh’ yang jelas-jelas tidak menggunakan suara.
      Menurut Rakhmat (1994; 268-269) terdapat dua cara untuk mendefinisikan bahasa, yaitu secara fungsional dan secara formal. Secara fungsional berarti melihat bahasa dari segi fungsinya, sehingga bahasa diartikan dsebagai “alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan”. Kita tekankan pada yang dimiliki bersama, karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan bersama di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Definisi formal mengatakan bahwa bahasa didefinisikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan. Yang dapat dibuat menurut peraturan tata bahsa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya dapat memberikan arti.
      Menurut Koentjaraningrat (1998, 339-341) dalam membahas tentang bahasa atau sistem lambangan manusia secara lisan maupun tertulis untk berkomunikasi antara individu satu dengan lainnya, maka peran suatu etnografi adalah memberi deskripsi tentang cir-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan, yang disertai pula variasi-variasi dari bahasa itu.
2. Bahasa dalam kerangka kebudayaan
      Menurut Haviland (1995; 376) seluruh permasalahan tentang hubungan antara bahasa dan kebudayaan termasuk dalam etnolinguistik, yaitu suatu bidang yang berkembang dari etnologi maupun linguistik deskriptif serta merupakan suatu bidang pembahasan tersendiri. Etnolinguistik meliputi segala aspek dari struktur dan penggunaan bahasa yang ada hubungannya dengan masyarakat, kebudayaan, dan perilaku manusia.
3. Kinesik dan proksemik
      Pada dasarnya, dalam berkomunikasi manusia tidak hanya membutuhkan komunikasi verbal semata, akan tetapi juga dibutuhkan ekspresi wajah, gerak tangan, gerak tubuh, cara berbicara, maupun nada suara yang kesemuanya itu bisa disebut bahasa tubuh atau komunikasi non verbal. Banyak informasi dapat diperoleh dari komunikasi nonverbal (Prawitasari, 1993). Kinesik dan proksemik adalah merupakan bagian dari komunikasi non verbal. Duncan (dalam Rakhmat, 1994; 289) menyebutkan enam jenis komunikasi non verbal, yait7u:
(1)   Kinesik atau gerakan tubuh
(2)   Paralinguistik atau suara
(3)   Proksemik atau penggunaan ruang personal dan sosial
(4)   Olfaksi atau penciuman
(5)   Sensitivitas kulit, dan
(6)   Fakto arifkultural, seperti pakaian dan kosmetik.

Kinesik. Menurut Haviland (1995; 368-369), kinesik dapat digambarkan sebagai suatu sistem komunikasi dengan menggunakan gerakan, yang berupa sikap tubuh, ekspresi muka, dan gerakan-gerakan tubuh lain yang mengandung pesan, seperti misalnya di Amerika Utara orang menggaruk-garuk kepala, menggigit bibir sendiri, atau mengkerutkan dahi adalah cara-cara untuk menunjukkan keragu-raguan. Selanjutnya Rakhmat ( 1994; 289-290) mengatakan bahwa di dalam menyampaikan pesan kinetik. Seseorang melalui gerakan tubuhnya dapat terdiri dari tiga komponen, yaitu : fasial, gestural dan postural.
       Pesan fasial adalah kinetik yang menggunakan raut muka untuk menyampaikan makna tertentu, Berbagai penelitian menggunakan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna : kebahagiann, rasa terkejut ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakkan, pengecaman, minat, ketakjuban dan tekad.
              Pesan gestural menunjukkan gerakan sebagai anggota badan seperti mata, dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Menurut Galloway ( dalam Rakhmat 1994; 290) pesan gestural dapat kita pergunakan untuk mengungkapkan beberapa hal: mendorong/ membatasi, menyesuaikan/ mempertentangkan, responsif/ tidak responsif. Perasaan positif/negatif, memperhatikan/tidak  memperhatikan/ tidak memperhatikan, melancarkan/ tidak reseptif, menyetujui? Menolak. Selanjutnya diperjelas bahwa pesan gestural yang mempertentangkan terjadi bila pesan gestural memberikan arti lain dari pesan atau pesan lainnya. Pesan gestural tidak responsif menunjukka gestur yang tidak ada kaitannya degan pesan yang diresponnya. Pesa gestural negatif mengungkapkan sikap dingin, merendahkan, atau menolak. Pesan gestural tak responsif mengabaikan permintaan untuk bertindak.
            Pesan postural berkenaan degan keseluruhan anggota badan, Mehrabian ( dalam Rakhmat, 1994; 290) menyebutkan tiga makna yang dapat disampaikan postur: immediacy, power dan responsiveness. Immediacy adalah ungkapan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap individu yang lain. Postur yang condong ke arah yang diajak bicara menunjukkan kesukaan dan penilaian positif. Power mengungkapkan status sosial tetentu pada diri komunikator. Anda dapat membayangkan dengan postur yang tinggi hati di depan anda dan postur yang merendah.
             Oleh karena itu, postur seseorang dalam berkomunikasi seingkali dipengaruhi oleh status sosial tertentu. Individu megkomunikasikan responsiveness bila ia bereaksi secara emosional pada lingkungan, secara emosional pada lingkungan,s ecara positif dan negatif. Bila postur anda tidak berubah, anda mengungkapkan sikap yang tidak responsif.
               Proksemik adalah pesan yang disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Umumnya dengan mengatur jarak kita dapat mengungkapkan keakraban degan orang lain. Edward T. Hall, seorang antropog, meyebutkan bahwa dalam interaksi sosial terdapat empat zona spesial yang meliputi : Kajian ini kemudian dikenal degan istilah proksemik ( kedekatan) atau cara seseorang menggunakan ruang dalam berkomunikasi ( dalam Altman, 1975). Pertama, jarak intim adalah jarak yang dekat/ akrab atau keakraban dengan jarak 0- 18 inci . Menurut Hall pada jarak yang akrab ini kemunculan orang lain adalah jelas sekali dan mungkin sutu saat akan menjadi sangat besar karena sangat meningkatnya masukan pancaidera. Penglihatan, panas tubuh orang lain, suara, bau, dan tarikan napas, semuanya menyatu sebagai tanda yang sangat jelas tentang keterlibatan orang lain. Pada jarak 0-6 inci (fase dekat pada jarak intim), kontak fisik merupakan suatu hal yang teramat penting. Hal menggambarkan, bahwa pada jarak ini akan mudah terjadi pada saat orang sedang bercinta, olahraga gulat, saling menyenangkan, dan melindungi. Pada jarak ini kemungkinan menerima dan menyampaikan isyarat-isyarat komunikasi adalah sangat luar biasa. Seseorang dapat melihat dengan jelas keseluruhan orang yang sedang dihadapinya seperti tekstur kulitnya, kerut, dan cacat wajahnya, warna matanya, tingkat keputihan bola matanya, kerutan pada keningnya, dan mulutnya. Pada jarak sedekat itu kita lebih dari sekedar melihat. Seseorang dapat menyentuh  hampir semua bagian tubuh orang tersebut atau dengan mudah memeluknya. Seseorang dapat membaui napas dan parfum, merasakan perbedaan panas tubuh dan deru napasnya. Hal meyimpulkan bahwa pada “daerah keakraban” tersebut kaya akan isyarat-isyarat yang potensial untuk berkomunikasi, yang juga menyajikan banyak hal tentang seseorang. Mungkin juga kondisi seperti ini, yang dikatakan hall sebagai jarak yang biasanya dioeruntukkan kepada “intimate lovers” – pasangan kekasih yang sudah sangat intin dan suami istri umumnya tidak disetujui dilakukan di tempat yang umum.
Jika daerah atau zona ini dapat menyenangkan dalam suatu situasi, yaitu ditempat yang umum.
Jika daerah/zona ini dapat menyenangkan dalam suatu situasi,yaitu ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain yang dicintainya,mungin akan menjadi tidak menyenangkan dalam situasi lain.misalnya,ketika orang dengan tidak sengaja terpaksa untuk masuk ke dalam elevator yang penuh sesak,mereka seringkali menjadi tidak bergerak/kaku,melihat dengan gugup kepada nomor-nomor lantai.hal ini mungkin juga sebagai tanda bahwa mereka menyadari telah saling melanggar “jarak kedekatan” (intimate distance). Tetapi berusaha untuk berusaha yang terbaik untuk menghindari interaksi yang tidak pantas.
Pada bagian yang dekat degan zona sosial(fase dekat)/pada jarak 4-7 kaki,kontak visual tidak begitu terselaraskan dengan baik dibandingkan degan daerah-daerah lainnya. Isyarat-isyarat sentuhan lainnya menjadi relatif tidak penting.
            Secara antropologis perkawinan dapat berfungsi antara lain sebagai pengaturan kehidupan seksual serta kehidupan kebudayaan dan masyarakat luas. Pekawinan juga memberi ketenuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepada hasil dari buah perkawinan terseut ( anak-anak), juga memenuhi kebutuhan akan teman hidup.
               Pembatasan jodoh dalam perkawinan menurut koentjaraningrat ( 1992; 94-95) di dalam masyarakat di dunia terdapat baik larangan-larangan maupun bentuk-bentuk yang ideal ( preferensi) dalam pembatasan jodoh untuk perkawinan. Beikut ini akan di bahas larangan-larangan maupun preferensi dalam perkawinan.
                Pada masyarakat orang jawa dari lapisanyang berpendidikan dan tinggal di kota misalnya, hampir tidak ada pembatasan asalkan saja mereka ingat bahwa mereka tidak boleh memiliki jodoh pada saudara sekandung sendiri, dalam arti saudara seupu dari pihak ayah, saudara perempuan dari ayah atau ibu, atau wanita yang lebih tua umurnya.Sementara pada orang Batak misalnya, orang dilarang mencari jodoh diantara semua orang yang mempunyai nama marga yang sama dengannya. Kalau misalnya seseorang bernama Hutabarat, maka ia tidak boleh menikah degan gadis atau pemuda bermarga Hutabarat.
                  Dalam setiap masyarakat orang memang seharusnya bisa menikah degan orang lain  di luar suatu lingkungan tertentu atau exogami. Pembatasan exogami tentu berebda-beda sesuai dengan konteks tertentu. Kalau seseorang dilarang menikah dengan saudara kandungnya,  maka kita akan menyebutnya sebagai exogami keluarga. Kalau dilarang dalam satu marga, maka diseut exogami marga.
                  Selain exogami kita juga mengenal istilah endogami, yang pembatasnya juga berbeda-beda sesuai degan konteksnya. Salah satu istilah penting dalam endogami adalah istilah sumbang atau incest. Feomena sumbang tejadi karena seseorang telah melanggar adat exogami. Pembatasan sumbang juga berbeda-beda sesuai degan konteksnya.
                 Kebalikan dengan hal-hal yang diseut diatas, yang berhubungan  dengn pembatasan-pembatasan, dalam masyarakat di dunia juga mengenal istilah marriage preference atau perkawinan-perkawinan yang menjadi preferensi umum, artinya suatu bentuk perkawinan ideal yang diinginkan oleh sebagian esar warga masyarakat. Dalam suatu kebudayaan tertentu terdapat preferensi untuk menikah secara cross cousin, yaitu degan saudara perempuan ayah atau anak saudara laki-laki ibu. Pada orang Batak Toba misalnya, perkawinan yang dianggap ideal dan yang dianggap meyebabkan kebahagiaan yang paling besar adalah perkawinan antara seseorang dengan seorang anak perempuan ayahnya bukan dilarang, tetapi dianggap kurang baik, dan sejauh mungkin dihindari.

2. Rumah Tangga dan Keluarga inti   
        Menurut Koentjaraningrat ( 1992; 108) rumah tangga ( household) terjadi akibat adanya perkawinan. Kesatuan ini mengurus ekonomi rumah tangga sebagai suatu kesatuan. Satu rumah tangga seing terdiri dari satu keluarga inti atau lebih. Sedangkan, keluarga inti ( nuclear family) tejadi juga sebagai akibat dari perkawinan, dengan anggota terdiri dari seorang suami, seorang istri, dan anak-anak mereka yang belum kawin. Anak tiri dan anak angkat yang secara resmi mempunyai hak wewenang yang kurang lebih sama dengan anak kandungannya,dapat pula dianggap sebagai anggota suatu keluarga inti. Bentuk keluarga inti seperti ini adalah bentuk keluarga inti yang sederhana dan biasanya disebut sebagai batih yang berdasarkan monogami,atau terdapat seorang suami dan istri dari anak.akan tetapi ada pula keluarga batih yang lebih kompleks,yaitu apabila terdapat lebih dari seorang suami/istri. Keluarga inti seperti ini disebut sebagai keluarga inti yang berdasarkan poligami.

3.kelompok-kelompok kekerabatan
Menurut koentjaraningrat(1992; 113) keluarga-keluarga inti seperti terurai di atas itu merupakan suatu kesatuan manusia yang di dalam ilmu antropologi dan sosiologi disebut kingroup, atau kelompok kekerabatan. Selain keluarga inti masih terdapat beberapa bentuk kelompok kekerabatan.
Kindread adalah kesatuan kaum kerabat yang melingkari seseorang yang memulai suatu kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut biasanya berupa pertemuan-pertemuan, upacara-upacara atau pesta-pesta yang umumnya dimulai dari salah seorang anggota. Lingkup kegiatannya biasanya pada sekitar life-space, seperti pada hari ulang tahun,kematian dan pemakaman.
Keluarga luas selalu terdiri lebih dari satu keluarga inti,tetapi yang seluruhnya merupakan suatu kesatuan sosial yang amat erat, dan yang biasanya hidup di tempat tinggal bersama pada suatu tempat tinggal bersama pada satu pekarangan.
Keluarga ambilineal kecil,terjadi bila sesuatu keluarga luas yang utrolokal mendapat suatu kepribadian yang disadari oleh para anggotanya,tidak selamanya waktu mereka hidup saja, tetapi yang dianggap ada sejak dua-tiga angkatan dalam waktu yang lama.
Keluarga ambilineal besar. Keluarga ambilineal sering dapat juga terdiri dari lebih tiga atau empat angkatan,tetapi dr banyak angkatan yang diturunkan oleh seorang nenek moyang yang tidak saling mengenal dan tahu-menahu lagi. Jumlah warga kelompok tidak hanya 25 sampai 30 orang,melainkan sampai beratus-ratus sehingga tidak saling mengenal lagi.
Fratri. Fratri atau dalam bahasa asingnya adalah phratry merupakan kelompok-kelompok kekerabatan yang patrilineal dan yang matrilineal,yang sifatnya lokal dan yang merupakan gabungan dari kelompok-kelompok klen setempat. Kelompok yang dapat bergabung dalam fratri adalah klen kecil atau bagian lokal dari klen besar.
Paroh masyarakat . paroh masyarakat atau dalam bahasa asingnya moity adalah kelompok kekerabatan gabungan dari keln seperti fratri,tetapi yang selalu merupakan separoh dari suatu masyarakat.hal ini tergantung dari struktur masyarakatnya,sehingga suatu moiety dapat berupa gabungan dari klen-klen kecil atau gabungan-gabungan dari bagian-bagian lokal dari klen besar.

C. KESATUAN HIDUP SETEMPAT
            Menurut koentjaraningrat (1992; 161) kesatuan hidup setempat atau community atau kemudian disebut komunitas adalah kesatuan sosial yang terjadi bukan karena adanya ikatan kekerabatan sebagaimana kelompok kekerabatan, akan tetapi karena ikatan tempat kehidupan. Orang-orang yang tinggal bersama disuatu wilayah tertentu belum dikatakan community kalau mereka tidak merasakan terikat oleh perasaan bangga dan cinta kepada wilayahnya, sehingga mereka segan untuk tinggal di wilayah yang lain.
            Sebagai suatu kesatuan manusia, suatu komunitas tentu mempunyai juga perasaan kesatuan, serupa dengan hampir semua kesatuan manusia yang lain, tetapi perasaan kesatuan dalam komunitas itu biasanya amat kuat, sehinggarasa kesatuan kalau dikupas biasanya mengandung unsur-unsur rasa kepribadian kelompok, artinya perasaan bahwa kelompok sendiri itu mempunyai ciri-ciri (biasanya ciri-ciri kebudayaan atau cara-cara hidup) yang berbeda jelas dengan kelompok lainnya, serta adanya perasaan negatif yaitu dengan merendahkan atau paling tidak menganggap aneh ciri-ciri dalam kehidupan komunitas lainnya.
            Koentjaraningrat (1992; 162) membagi komunitas menjadi dua bagian yakni komunitas kecil dan komunitas besar.
            Komunitas besar, menurut koentjaraningrat (1993; 162) sifat dari komunitas, baik komunitas kecil maupun besar adalah adanya wilayah, cinta wilayah, dan kepribadian kelompok, dimana ketiganya merupakan dasar dan pangkal dari perasaan seperti nasionalisme, patriotisme, dan sebagainya. bentuk-bentuk komunitas besar antara lain adalah kota, propinsi, negara bagian, atau bahkan negara. Suatu negara dapat merupakan suatu komunitas jikalau ada rasa cinta tanah air dan rasa kepribadian bangsa yang besar.
            Komunitas kecil, komunitas kecil ternyata lebih mendapat banyak perhatian di antara para ahli antropologi maupun sosiologi. Berikut ini akan disajikan sifat-sifat, bentuk-bentuk, dan solidaritas pada komunitas kecil.
Komunitas kecil memiliki sifat-sifat :
1.      Komunitas kecil adalah kelompok-kelompok dimana warga-warganya semuanya masih bisa saling kenal-mengenal dan saling bergaul dengan frekuensi kurang atau lebih besar.
2.      Karena sifat kecilnya tersebut maka antara bagian-bagian dan kelompok-kelompok khusus didalamnya tidak terdapat keragaman warna yang besar.
3.      Komunitas kecil juga merupakan kelompok dimana manusia dapat menghayati sebagian besar dari lapangan-lapangan kehidupan secara warna yang besar.
4.      Komunitas kecil tersebut dapat membentuk band, rukun tetangga, desa, dan sebagainya. Berikut ini akan disajikan band an village.
Band atau kelompok berburu adalah komunitas kecil yang hidup berpindah-pindah dari berburu dan meramu dalam batas suatu wilayah tertentu. Kelompok  berburu biasanya merupakan kelompok kecil yang berpindah-pindah dan pada umumnya tidak melebihi 80 sampai 100 anggota.
Village atau desa merupakan suatu kelompok hidup kecil yang menetap dalam suatu wilayah yang tetap. Suku bangsa yang hidup di desa biasanya hidup bercocok tanam atau dari perikanan. Dalam masyarakat yang berbentuk komunitas kecil di seluruh dunia seringkali tampak adanya suatu rasa saling tolong-menolong yang besar, sehingga seluruh kehidupan masyarakat berdasarkan rasa yang terkandung dalam jiwa para anggotanya. Rasa tolong menolong tersebut dalam bahasa Indonesia dipakai istilah gotong royong.
                Koentjaraningrat ( 1992; 172-173) membagi aktivitas gotong royong dalam empat bagian:
1.      Tolong menolong dalam aktivitas pertanian
2.      Tolong menolong dalam aktivitas sekitar rumah tangga
3.      Tolong menolong dalam persiapan pesta dan upacara
4.      Tolong menolong dalam peristiwa kecelakaan, bencana dan kematian.
D. Sistem religi
                 Dalam kehidupannya, manusia seringkali mengalami peristiwa- peristiwa diluar kemampuannya yang disebabkan oleh kekuatan eksternal, seperti bencana banjir, gempa bumi, dan gunung meletus. Oleh karena itu manusia mulai berpaling kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan tersebut  untuk kemudian memuja dan meyembahnya. Sesuatu yang dipuja dan disembah itu dapat berupa  arwah nenek moyang, patung-patung, atau objek-objek lainnya. Fenomena ini merupakan awal dari lahirnya agama-agama.
                 Agama atau religi menurut Havilland dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku, yang diusahakan oleh manusia untuk menangani masalah-masalah penting yang tidak dapat dipecahkan melalui teknologi dan teknisi organisasi yang diketahuinya. Untuk mengatasi ketebatasan itu orang bepaling kepada supranatural.
                   Semetara itu, Anthony F.C Wallace secara antropologis mendefinisikan agama sebagai seperangkat upacara, yang diberi rasionalisasi mitos dan yang meggerakkan kekuatan supranatural degan maksud untuk mencapai atau menghindari segala perubahan keadaan pada manusia atau alam. Meurut Havilland pengertian ini memiliki suatu pengertian bahwa,  kalau tidak dapat megatasi masalah serius yang meimbulkan kegelisahan mereka, maka manusia berusaha mengatasinya degan kekuatan supranatural. Maka dari itu dilakukan upacara keagamaan, yang oleh Wallace dipandang sebagai gejala agama yang utama ( religion in action). Fungsi utama dari upacara keagamaan itu adalah untuk megurangi kegelisahan . Hal inilah yang emrupakan nilai agama untuk mengatasi hidup.
                  Unsur unsur religi . Unsur- unsur religi Meurut Koentjaraningrat terdiri dari: Emosi, keagamaan, sistem keagamaan, upacara keagamaan, peralatan upacara dan kelompok keagamaan. Kelima unsur terseut akan dibahas satu persatu di bawah ini.
                Emosi keagamaan adalah suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah emnghinggapi manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin hanya beberapa detik saja dan kemudian emnghilang lagi ( Koetjaraningrat 1992; 239). Proses-proses fisiologi dan psikologi yang tejadi apalabila seseorang megalami emosi keagamaan tenyata belum pernah dianalisis dan di deskripsi oleh para ahli. Seorang ahli, Rudolf Otto malahan lebih menghindari suatu analisis yang lebih mendalam bahwa emosi yang berupa “ sikap kagum terpesona terhadap hal yang gaib dan keramat” pada hakikatnya tidak dapat di jelaskan degan akal manusia karena berada diluar jangkauan kemampuannya. Ahli lain, soderblom hanya menyebutkan bahwa emosi keagamaan adalah sikap “ takut becampur percaya” kepada hal yang gaib serta keramat.
                Sistem keyakinan dan keagamaan menurut Koentjaraningrat dapat berwujud pada pikiran manusia, yang meyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib, tentang tejadinya alam dan dunia, tentang zaman akhirat, tentang wujud dan ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam, dewa-dewa, roh jahat, hantu, dan makhluk halus lainnya. Kecuali dari itu sistem keyakinan juga menyangkut sistem nilai dari sistem keagamaan, ajaran kesusilaan, dan ajaran religi lainnya yang mengatur tingkah laku manusia.
                      Upacara keagamaan menurut Koentjaraningrat dapat berwujud aktivitas atau tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktian terhadap tuhan, dewa, roh nenek moyang, dan makhluk lainnya dalam upaya berkomunikasi degan Tuhan atau penghuni alam gaib lainnya.Hal ini biasanya dilakukan berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, atau hanya kadang – kadang saja. Bedasarkan isi acaranya, hal ini biasanya terdiri dari suatu kombinais yang merangkai satu atau beberapa tindakan, seperti: berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari, bernyanyi, berprosesi, seni drama suci, berpuasa, bertapa, bersemi dan sebagainya.
                Selanjutnya dikatan oleh Koentjaraningrat bahwa di dalam hal ini biasanya digunakan berbagai sarana atau peralatan, seperti : tempat atau gedung pemujaan ( masjid, langgar, gereja, pagoda, stupa ), patung dewa, patung orang suci, alat bunyi- bunyian suci (  bedug, gong, seuling, gamelan, lonceng, dan lain-lain).
                  Kelompok Keagamaan menurut Koentjaraningrat ( 1990; 82) merupakan suatu kesatuan sosial yang berwujud sebagai:
1.      Keluarga inti atau kelompok kekerabatan yang lain
2.      Kelompok kekerabatan yang lebih esar, seperti keluarga luas, suku, marga dan lain-lain
3.      Kesatuan komunitas, seperti desa dan lain-lain
4.      Organisasi atau gerakan religi, seperti organisasi penyiaran agama, organisais gereja, partai politik yang beridelogi agama, gerakn agama, orde-orde rahasia dan lain-lainnya